Tuesday, 2 July 2013

Abnormalitas Sistem Reproduksi Jantan/Pria

Mengapa kelainan (bawaan) produksi sperma tidak selalu diikuti oleh kelainan pada ciri kelamin sekunder pria ? Salah satu faktor penyebabnya dapat dijelaskan sebagai berikut.


       Sistem reproduksi jantan/pria terdiri dari  2 buah testes, sistem duktus yang berfungsi untuk menyimpan serta mentransport sperma ke eksterior, berbagai kelenjar, dan penis. Testes merupakan organ reproduktif jantan utama yang berfungsi untuk produksi sperma dan hormon.  Selama masa perkembangan fetus, testes beekembang di dalam abdomen, kemudian setelah bulan ke-7 perkembangan intrauterine, testes bergerak turun ke skrotum (di luar abdomen).  Posisi testes terkait dengan pembentukan sperma (spermatogenesis) secara normal  yang terjadi di dalam  tubulus seminiferus memerlukan suhu lebih rendah dibandingkan suhu internal tubuh. Proses pendinginan melalui sirkulasi udara di sekitar skrotum dan mekanisme pertukaran panas dalam pembuluh darah yang menuju ke testes. Sedangkan mekanisme produksi testosteron secara normal yang dihasilkan oleh sel Leydig (di antara jaringan interstitial tubulus seminiferus)  berlangsung pada suhu yang bersesuaian dengan suhu internal tubuh, sehingga kedua mekanisme terjadi di tempat dan dengan kondisi yang berbeda. Oleh sebab itu kegagalan proses penurunan testes yang menyebabkan abnormalitas spermatogenesis  tidak selalu diikuti dengan abnormalitas sekresi hormon testosterone yang bertanggung jawab terhadap perkembangan ciri kelamin sekunder jantan/pria.

Saturday, 1 June 2013

Eksotoksin Bakteri Simbion Nematoda Patogen Serangga (NPS)



Eksotoksin Bakteri simbion NPS merupakan kompleks toksin yang disekresikan bakteri simbion NPS untuk membunuh serangga inang, setelah NPS berhasil penetrasi ke dalam tubuh inang. Eksotoksin berperan penting dalam menyediakan nutrisi dan reproduksi NPS. Jika dibandingkan dengan endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Bacillus thuringiensis, eksotoksin NPS memiliki kisaran serangga inang yang lebih luas, yaitu mampu mengendalikan serangga dari ordo Lepidoptera, Coleoptera, Homoptera, dan Dictyoptera dengan tingkat patogenitas yang tinggi (Bowen et al., 1998).
Berdasarkan hasil penelitian Mahar et al. (2005) eksotoksin yang diekstraksi dari Xenorhabdus nematophila mampu membunuh larva ulat ngengat lilin (Galleria melonella) sebesar 95% dalam waktu 4 hari. Eksotoksin ini diekstrak dari X. nematophilla yang berasal dari dalam tubuh G. melonella yang mati setelah 6 hari perlakuan menggunakan NPS Steinernema carpocapsae dengan mortalitas 93%. Untuk eksotoksin yang diekstrak dari Xenorhabdus nematophila dengan kepadatan sel sebesar 4x10 sel/ mL, mampu membunuh 100 % larva uji. Hal ini menunjukkan, ekstrak eksotoksin memberikan efek yang lebih kuat dan cepat terhadap mortalitas serangga uji. Selain itu berdasarkan penelitian Wartono dan Tri Puji (2009), eksotoksin Photorhabdus luminescens yang diperbanyak melalui medium LB, toksisitasnya mencapai 100% terhadap mortalitas larva uji.
Berdasarkan analisis sekuen gen bakteri Xenorhabdus dan Photorhabdus, kedua organisme memiliki gen toksin kompleks (tc) yang berada pada lokus yang berbeda. Kompleks toksin disusun oleh kelas protein yang berbeda bedasarkan kemiripan sekuen dan ukuran molekulnya, yaitu protein A (280 kDa), B (170 kDa), dan C (110 kDa). Protein A merupakan kelas protein yang paling bertanggung jawab terhadap sitotoksisitas bakteri berhadap serangga inang melalui pengikatan enzim-enzim sel tubuh serangga, sedangkan protein kelas B dan C berperan dalam meningkatkan sitotoksisitas protein kelas A  (Mahar et al., 2005).
Secara lebih spesifik, kompleks protein toksin pada Xenorhabdus adalah Xpt A2, Xpt B1, dan Xpt C1. Sedangkan kompleks protein toksin pada Photorhabdus adalah TcaA1, TcdB2, dan TccC3. Protein kelas B dan kelas C yang berasal dari Xenorhabdus maupun Photorhabdus dapat dibuat hibrid. Hibrid hasil kombinasi dari kedua bakteri simbion ini menunjukkan toksisitas yang lebih tinggi dibandingkan kompleks toksin dari masing-masing bakteri simbion (Sheets et al., 2011), sehingga diharapkan dapat meningkatkan patogenitas yang lebih tinggi sebagai bioinsektisida terhadap populasi serangga hama.


Friday, 3 May 2013

Nematoda Patogen Serangga


Anggota Filum Nematoda merupakan cacing berbentuk gilig, tidak berwarna, tidak bersegmen, dan tidak memiliki alat gerak. Nematoda hidup bebas (sebagai predator) ataupun bersimbiosis dengan spesies  yang lain. Beberapa spesies Nematoda merupakan parasit yang menyebabkan berbagai penyakit pada tumbuhan, hewan, dan manusia (Gaugler, 2005).
Terdapat beberapa spesies Nematoda yang berasosiasi dengan serangga, yaitu Nematoda yang termasuk dalam kelas Secernentea. Anggota kelas ini adalah ordo Rhabditida, yaitu anggota famili Steinernematidae  dan Heterorhabditidae (Lacey et al., 2001). Nematoda yang termasuk dalam kedua famili tersebut menduduki posisi sebagai patogen dan parasit. Nematoda ini mampu melakukan penetrasi ke dalam tubuh serangga inang, hidup bersama, dan mengambil sari-sari makanan serangga inang. Sebagai bagian dari siklus hidupnya, Nematoda ini bersimbiosis dengan bakteri yang hidup dalam intestinumnya dan mampu menghasilkan eksotoksin untuk membunuh serangga.  Oleh sebab itu cacing ini disebut sebagai Nematoda Patogen Serangga (Ben-Yakir et al., 1998).
 Nematoda anggota famili Steinernematidae memiliki asosiasi phoretic dengan bakteri patogen serangga  Xenorhabdus spp., sedangkan anggota famili Heterorhabditidae berasosiasi phoretic pula dengan bakteri Photorhabdus spp. Kedua bakteri ini termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Asosiasi yang dibentuk antara NPS dan bakteri simbionnya bersifat simbiosis mutualistik. Bakteri simbion berperan penting dalam siklus hidup Nematoda pada tubuh serangga inang. Selain mensekresikan eksotoksin, bakteri simbion juga  mensekresikan protein antiimun untuk membantu Nematoda menghadapi respon imun inang. Selain itu bakteri simbion juga mensekresikan antiprotein dan antimikrobia untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder oleh mikrobia lain. Bakteri simbion NPS merupakan parasit obligat dalam intestinum NPS yang bergantung pada kemampuan NPS untuk penetrasi ke serangga inang (Gaugler, 2005). Berdasarkan hasil penelitian Tanada dan Kaya (1993), juvenil infektif NPS yang tidak berasosiasi dengan bakteri simbion dalam intestinumnya mampu membunuh serangga inang, namun tidak mampu bereproduksi.
NPS yang berhasil mencapai dinding intestinum, bergerak menuju hemocoel dan melepaskan bakteri simbion yang segera berproliferasi dengan cepat di dalam hemolimfe dan mensekresikan eksotoksin yang mampu menghancurkan jaringan tubuh serangga. Pola infeksi bakteri simbion ini disebut sebagai toxocemia dan septicemia yang menyebabkan kematian serangga inang dalam waktu 24-72 jam (Tanada dan Kaya, 1993 ; Aydin dan Susurluk, 2005). Serangga yang mati akibat infeksi NPS tubuhnya dicirikan dengan warna coklat (infeksi Steinernematidae) atau merah (infeksi Heterorhabditidae), creamy, namun tidak berbau busuk (Smart, 1995).
Bakteri simbion berada pada bagian anterior dari intestinum larva Nematoda stadium III yang bermodifikasi menjadi bilik bakteri. Larva stadium III merupakan stadium infektif dari NPS, sehingga sering disebut dengan juvenil infektif. Juvenil infektif panjangnya berkisar antara 0,4-1,1 mm (Smart, 1995 ; Gaugler, 2005).
Juvenil infektif mampu melakukan penetrasi ke tubuh serangga inang melalui mulut, spirakulum, dan anus. Juvenil infektif dalam tubuh serangga akan berkembang menjadi juvenil infektif yang aktif memakan bakteri dan produk metabolit bakteri. Juvenil infektif akan mengalami molting dan berkembang menjadi larva stadium IV, yang selanjutnya berkembang menjadi cacing dewasa. NPS betina dewasa yang telah kawin akan menghasilkan telur, yang kemudian menetas menjadi larva stadium I, II, dan III, kemudian berhenti makan. Larva stadium III akan keluar dari tubuh inang yang sudah mati, menuju tempat-tempat lembab dan mencari inang yang baru. Di dalam tubuh beberapa spesies serangga tertentu, NPS dalam tubuh inang membentuk 2-3 generasi sebelum melepaskan juvenil infektif ke luar tubuh inang (Aydin dan Susurluk, 2005).
Durasi siklus mulai dari penetrasi juvenil infektif hingga ke luar dari tubuh inang dipengaruhi oleh suhu yang bervariasi pada setiap spesies maupun strain NPS. Rerata waktu yang diperlukan untuk setiap siklus generasi NPS dalam tubuh serangga adalah 7-10 hari, dengan suhu optimum 25oC. Pada skala laboratorium, juvenil infektif bergerak keluar tubuh inang setelah 8-14 hari infeksi awal (Tanada dan Kaya, 1993).
Pertumbuhan NPS dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, tekstur tanah, asosiasi dengan tanaman, intensitas cahaya, dan frekuensi irigasi. Suhu tinggi (diatas 30oC), desikasi, dan sinar UV dapat dengan cepat menginaktivasi NPS. Tekstur tanah yang sesuai untuk pertumbuhan NPS adalah tanah berpasir dan berlumpur (remah), berwarna coklat muda, coklat tua, atau coklat kehitaman. Selain itu pertumbuhan optimum NPS juga dipengaruhi oleh pH tanah, yaitu pada pH 7.  Kemelimpahan NPS pada suatu area dipengaruhi oleh asosiasi dengan spesies tumbuhan tertentu, antara lain jagung, jeruk, stroberi, apel, dan berbagai jenis rumput (Mracek et al., 1999 ; Ahmad dan Hussain, 2002). Irigasi yang teratur dapat mendukung pertumbuhan optimum NPS, sebab irigasi berguna untuk mempertahankan kelembaban tanah dan lapisan air dalam partikel tanah (Gaugler, 2005 ; Nardozzo, 2005).

Sunday, 7 April 2013

Kepunahan Spesies


1   Faktor-faktor penyebab kepunahan suatu spesies disingkat dengan HIPPO :
a.      Habitat destruction (kerusakan habitat)
Antara lain disebabkan oleh :
Penebangan hutan
Pengalihan fungsi bioma
Pertambangan
Pembuatan pintu air
Penangkapan ikan secara liar
Contoh kasus : populasi burung hantu Strix occidentalis caurina  di Northern Pasific
b.      Invasive species
Diinisiasi oleh spesies baru (introduksi) yang memiliki nilai ekonomi atau estetis, namun pertumbuhan populasinya tidak terkendali  dan menekan populasi native spesies (asli).
Contoh kasus : lebah madu Apis mellifera, alga hijau Caulerpa sp
c.       Pollution
Aplikasi pestisida dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan penurunan kecepatan reproduksi populasi hewan
Contoh kasus :  Falco peregrinus (burung falkon)
d.      Population of human
Pertumbuhan populasi manusia sejalan dengan eksplorasi alam dan pemanfaatan lahan untuk sumber pangan baru
Contoh kasus : popularitas sirip ikan paus, monokultur kelapa sawit
e.      Overharvesting
Praktek perburuan liar untuk dikonsumsi atau diperdagangkan illegal
Contoh kasus : Ectopistes migratorius
                         Bison bison

Tuesday, 5 March 2013

Fertilisasi internal dan fertilisasi eksternal


Proses fertilisasi eksternal pada sea urchin sebagai berikut :
Sel telur yang dilepaskan (belum dibuahi) telah mengalami pembelahan meiosis lengkap. Reaksi  akrosomal sperma dimulai pada saat  vesikel  khusus pada ujung kepala sperma  yang disebut sebagai akrosom, melepaskan enzim hidrolitik, kemudian menembus vitelline layer sehingga terjadi penetrasi  inti sperma ke sitoplasma sel telur dan menyebabkan terjadinya depolarisasi yang disebut dengan mekanisme ‘fast block to polyspermy’ (proses berlangsung selama 90 menit). Selanjutnya terjadi reaksi kortikal sel telur diawali dengan vesikel sperma yang berada  di dalam sitoplasma sel telur  di bagian cortex yang menyebabkan pecahnya granul kortikal sehingga mengisi ruang previtelline. Proses ini menghilangkan vitelline layer dan mengawali terbentuknya fertilization envelope. Mekanisme ini disebut sebagai ‘slow block to polyspermy’.

Sedangkan proses fertilisasi internal pada Mammalia sebagai berikut :
Sel telur yang belum dibuahi mengalami  pembelahan meiosis tertahan pada Metafase II. Pada saat terjadi fertilisasi, sel telur mengalami meiosis lengkap. Saluran reproduksi betina mensekresikan molekul atraktan bagi motilitas sperma (proses ini berlangsung selama 6 jam). Terdapat zona pellucida yang melindungi sel telur dan berperan sebagai reseptor sperma , selanjutnya terjadi reaksi akrosomal diikuti reaksi kortikal yang disebut sebagai mekanisme ‘slow block to polyspermy’.

Saturday, 23 February 2013

Jaringan-jaringan Penyusun Tubuh Hewan


1    Empat jenis jaringan pada hewan berdasarkan struktur dan fungsinya sebagai berikut  :

a.      Jaringan Epithel, memiliki karakteristik sebagai berikut :
(i)      Melapisi permukaan tubuh, organ, dan rongga (saluran) badan.
(ii)    Antar sel epithelium membentuk tight junction membentuk jaringan epithelium
(iii)   Berperan sebagai barrier tubuh dengan lingkungan (proteksi)
(iv)  Beberapa sel epithelium bermodifikasi sebagai penerima rangsang dari lingkungan
(v)    Bentuk sel epithel berupa kubus, pipih, ataupun kolumner
(vi)  Sel epithel  tersusun selapis, berlapis, ataupun lapis semu

b.      Jaringan Pengikat, memiliki karakteristik sebagai berikut :
(i)      Berfungsi untuk mengikat dan mendukung jaringan lain dalam tubuh
(ii)    Berupa populasi sel yang tersebar pada matriks ekstraseluler
(iii)   Matriks ekstraseluler dapat berupa cairan, gel, atau padat
(iv)  Terdapat 6 tipe : jaringan ikat longgar, kartilago, jaringan ikat fibrosa, jaringan lemak, darah, dan tulang
(v)    Fiber jaringan ikat dapat berupa : kolagen, elastis, retikuler

c.      Jaringan Otot berperan dalam pergerakan tubuh manusia, terdiri dari :
(i)      Otot polos : berada pada viscera, bekerja secara tidak sadar, struktur otot berbentuk gelendong, setiap sel memiliki satu nukleus
(ii)    Otot jantung : berada pada organ jantung , struktur otot tersusun sejajar, beranastomose, dan memiliki diskus interkalaris, setiap sel memiliki banyak nukleus
(iii)   Otot seran lintang / lurik : berada pada sebagian besar organ tubuh yang pergerakannya secara sadar (kaki, tangan, leher, alat indra, dsb), struktur otot tersusun sejajar,setiap sel memiliki banyak nukleus

d.      Jaringan  Saraf berperan untuk menanggapi stimulus dari lingkungan dan mentransmisikan signal dalam bentuk impuls dari satu bagian ke bagian yang lain dalam tubuh hewan , terdiri dari :
(i)      Neuron : disusun oleh badan sel, akson, dan dendrit yang berperan untuk menghantarkan impuls
(ii)    Sel glia : berperan untuk menjaga, melingkupi, dan mendukung kerja neuron