Monday, 6 June 2016

Resistensi Tuberculosis

           Penyakit Tuberculosis (TBC) yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis melanda sekitar 1/3 dari total populasi manusia di dunia. Pada sebagian besar kasus, infeksi bakteri M.tuberculosis bertahan dalam tubuh penderita sebagai infeksi yang laten dan bersifat resisten sehingga keberadaan M.tuberculosis dalam sel imun tidak dapat dideteksi dan dieradikasi melalui respon imun inang (penderita TBC). Berbagai penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui kemampuan M. tuberculosis tersebut, sehingga mampu bertahan sebagai infeksi yang laten dalam sel-sel imun inang dan dapat terbebas dari pengawasan sel-sel yang terlibat dalam sistem imun. Diduga kemampuan tersebut disebabkan karena aktivitas penghambatan yang dilakukan oleh M. tuberculosis terhadap makrofag sehingga makrofag yang seharusnya berperan sebagai pertahanan utama dalam respon imun bawaan tidak mampu melakukan aktivitasnya secara optimal. Hal ini disebabkan oleh kerja IFN-γ yang berperan dalam menstimulus aktivasi dari makrofag dihambat, sehingga signal tersebut tidak dapat diterima dengan baik oleh makrofag. Berdasarkan penelitian terdahulu, IFN-γ, sel T CD4, IL-12 dan TNF-α sangat dibutuhkan oleh makrofag (sel-sel fagositik) dalam mengontrol infeksi M.tuberculosis pada manusia dan mencit.
            IFN-γ merupakan senyawa aktivator yang sangat penting bagi makrofag, berperan menginduksi transkripsi lebih dari 200 gen yang secara fungsional berkaitan dengan aktivasi ekspresi MHC II, ekspresi molekul co-stimulator, dan senyawa-senyawa efektor antimikrobia seperti senyawa monooksida (O-) dan senyawa NO. IFN-γ ditemukan pada daerah yang terinfeksi M. tuberculosis dan di dalam granuloma.
            Hasil studi menunjukkan bahwa M. tuberculosis melemahkan makrofag yang terinfeksi dalam merespon IFN-γ melalui pemblokkan transkripsi gen-gen yang bertanggung jawab dalam ekspresi reseptor tipe I pada domain Fc dari IgG (CD64) dan aktivator transkripsi MHC II (CIITA) yang berperan dalam meregulasi ekspresi MHC kelas II. Diduga kemampuan penghambatan ini disebabkan karena komponen utama penyusun dinding sel M. tuberculosis yaitu lipoarabinomannan yang memiliki aktivitas immunomodulator. Selain komponen tersebut, studi lain juga melaporkan bahwa aktivitas penghambatan disebabkan karena aktivitas lipoprotein sebesar 19 kDa yang dimiliki M. tuberculosis. Komponen kompleks penyusun dinding sel M. tuberculosis meliputi lipoprotein dan mikoliarabinogalaktan peptidoglikan (mAGP) yang diduga sebagai komponen utama yang berperan dalam menghambat respon makrofag terhadap IFN-γ. Aktivitas lipoprotein 19 kDa dalam menghambat respon makrofag terhadap TLR2 dan diferensiasi faktor 88 myeloid (Myd88) secara langsung, sedangkan mAGP menghambat respon makrofag terhadap TLR2, TLR4, dan Myd88 (secara tidak langsung). Sehingga melalui ulasan singkat ini dapat dijelaskan hubungan penghambatan jalur signal IFN-γ dengan sifat infeksi M. tuberculosis yang persisten melalui attenuasi (pelemahan) kemampuan murine makrofag untuk membunuh M. tuberculosis setelah diaktivasi dengan IFN-γ.

Daftar Pustaka 

Allenbach, C., Zufferey, C., Perez, C., Launois, P., Mueller, C., and Tacchini-Cottier, F. 2006. Macrophages Induce Neutrophil Apoptosis through Membrane TNF, a Process Amplified by Leishmania major. The Journal of Immunology 176:6656–6664.
Fortune, S.M., Solache, A., Jaeger, A., Hill, P.J., Belisle, J.T., Bloom, B.R., Rubin, E.J., Ernst, J.D. Mycobacterium tuberculosis inhibits macrophage responses to IFN-γ through myeloid differentiation factor 88-dependent and-independent mechanisms. The Journal of Immunology. 2004 (172) : 6272-6280.

Monday, 16 May 2016

MAKROFAG SEBAGAI ANTIGEN-PRESENTING CELL (APC)




            Antigen-presenting cell (APC) merupakan sel yang secara khusus menangkap mikrobia dan antigen lain, mempresentasikannya ke limfosit, serta menyediakan sinyal yang mampu menstimulasi proliferasi dan diferensiasi limfosit tersebut. APC umumnya adalah sel yang mempresentasikan antigen ke limfosit T. Makrofag mempresentasikan antigen ke sel T selama respon imun selular.
            Makrofag adalah APC yang secara aktif memfagositosis partikel besar, sehingga makrofag berperan penting dalam mempresentasikan antigen yang berasal dari organisme infeksius seperti bakteri dan parasit. Makrofag yang menelan mikrobia mempresentasikan antigen mikrobia tersebut ke sel T efektor terdiferensiasi. Sel T ini kemudian mengaktifkan makrofag untuk mengeliminasi mikrobia tersebut. Selain itu, makrofag yang telah menelan mikrobia juga berperan dalam mengaktifkan sel T naive untuk menginduksi respor primer terhadap antigen mikrobia, meskipun sel dendritik lebih efektif dalam menginduksi respon tersebut.
           Makrofag juga merupakan sel efektor yang penting dalam imunitas bawaan maupun adaptif. Makrofag memfagositosis mikrobia dan memproduksi sitokin yang merekrut dan mengaktifkan sel-sel inflamasi dalam imunitas bawaan. Dalam imunitas adaptif selular, makrofag yang diaktifkan oleh sel T akan teraktivasi oleh antigen untuk mengeliminasi mikrobia, sedangkan pada imunitas adaptif humoral, makrofag memfagositosis mikrobia yang telah diselubungi antibodi (opsonisasi) melalui reseptor permukaannya.
Sel T hanya dapat mengenali antigen dalam bentuk peptida yang dipresentasikan bersama dengan produk gen MHC pada permukaan APC. Sel T helper CD4+ mengenali antigen yang berasosiasi dengan produk gen MHC kelas II, sedangkan Sel T sitotoksik CD8+ mengenali antigen yang berasosiasi dengan produk gen MHC kelas II.
 Pada umumnya makrofag mengekspresikan molekul MHC kelas II pada tingkat yang rendah dan pada tingkat yang lebih tinggi saat terinduksi sitokin interferon-γ (IFN-γ). Hal ini merupakan mekanisme IFN-γ untuk meningkatkan presentasi antigen dan aktivasi sel T.
Makrofag menangkap antigen protein ekstraseluler, memasukkannya kedalam sel dan kemudian mempresentasikannya. Makrofag mempresentasikan antigen kepada sel T helper terdiferensiasi pada fase efektor imunitas seluler.
Pemrosesan antigen adalah pengubahan protein alami menjadi peptida yang berasosiasi dengan MHC. Proses tersebut terdiri dari pengenalan antigen protein ekstraseluler ke APC atau sintesis antigen di dalam sitosol, degradasi proteolitik protein tersebut menjadi peptida, pengikatan peptida ke molekul MHC, dan mempresentasikan kompleks peptida-MHC pada permukaan APC untuk dikenali oleh sel T. Proses tersebut melibatkan mekanisme proteolitik yang juga berlangsung di luar sistem imun. Peptida yang merupakan derivat protein self maupun protein asing dipresentasikan oleh molekul MHC.
           
MHC kelas II
Untuk presentasi antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II, protein ekstraseluler diinternalisasi (melalui fagositosis yang diperantarai reseptor) menjadi endosom, kemudian protein tersebut didegradasi oleh enzim proteolitik pada kondisi pH asam. Molekul MHC kelas II disintesis di sitosol dan ditransport ke RE. Di dalam RE, molekul MHC melipat dan terangkai. Awalnya molekul MHC berupa dimer yang terdiri dari rantai α dan β, kemudian rantai ketiga (rantai invarian) yang disebut rantai Ii ditambahkan. Rantai tersebut mencegah molekul MHC berikatan dengan peptida yang disintesis secara endogen di dalam RE. Selanjutnya molekul MHC yang telah berasosiasi dengan Ii dan baru saja disintesis ditransport dari RE ke vesikel endosom. Ii kemudian dipotong dengan enzim proteolitik, dan peptida kecil sisa Ii (class II associated invariant chain peptide/CLIP) dibuang dari celah pengikat peptida molekul MHC oleh molekul DM. Selanjutnya peptida yang dihasilkan dari degradasi protein antigen ekstraseluler terikat pada celah tersebut. Kompleks (MHC-peptida) tersebut bergerak dan dipresentasikan pada permukaan sel. Peptida antigen yang tidak mampu berikatan dengan molekul MHC didegradasi di dalam lisosom.
Komplek molekul MHC kelas II-peptida dapat mengaktifkan sel T helper (CD4+) dan menginduksi proliferasinya serta sekresi berbagai sitokin. Tumor Necrosis Factor-α yang disekresikan oleh APC berperan penting dalam proses ini. Proses ini memicu sintesis oksigen radikal yang mampu mengeliminasi mikrobia intraseluler. Selain itu, sel T CD4+ yang teraktivasi dapat menstimulasi pembentukan antibodi oleh sel B.

Sumber :


Abbas, A.K. and A.H. Lichtman. 2007. Cellular and Molecular Immunology. Fifth edition. Elsevier, Inc. www.studentconsult.com.

Albert, B.,  Johnson, A., Lewis, J., Raff, M., Roberts, K., and Walter, P. 2002. Molecular Biology of the Cell. Garland Science. Taylor & Francis Group.

Monday, 4 April 2016

Fagositosis Makrofag



            Fagositosis merupakan proses yang terdiri dari beberapa tahap. Mekanisme utamanya adalah mengeliminasi mikrobia dari dalam tubuh, sehingga berperan penting dalam pertahanan melawan mikrobia ekstraseluler. Tahap fagositosis dimulai dengan pergerakan fagosit menuju mikrobia dengan menggunakan sinyal kemotaktik seperti komplemen. Kemudian fagosit melekat pada mikrobia melalui pengikatan manosa, komplemen dan atau reseptor Fc. Endositosis mikrobia memicu pembentukan fagosom melalui invaginasi membran permukaan. Selanjutnya fagosom berfusi dengan lisosom dengan melibatkan mikrotubulus. Akhirnya mikrobia dieliminasi dengan menggunakan oksigen radikal seperti myeloperoksidase dan oksida nitrat.         
           Sistem fagosit mononuklear terdiri dari sel yang berasal dari sumsum tulang, bersirkulasi di dalam darah, dan matur serta menjadi aktif di berbagai jaringan. Tipe sel yang pertama kali masuk ke dalam aliran darah setelah meninggalkan sumsum tulang adalah monosit yang belum terdiferensiasi. Monosit memiliki diameter 10-15 μm dan mempunyai inti berbentuk seperti ercis dan sitoplasma yang mengandung granula halus berisi lisosom, vakuola fagositik, dan filamen sitoskeleton.
Setelah berada di dalam jaringan, monosit matur menjadi makrofag. Makrofag memiliki morfologi yang berbeda setelah teraktivasi oleh sinyal eksternal seperti mikrobia. Makrofag ditemukan di semua organ dan jaringan ikat dan diberi nama sesuai dengan lokasi spesifiknya.
Dengan demikian, makrofag ditempatkan pada tempat yang strategis dimana mikrobia kemungkinan masuk ke dalam tubuh. Makrofag merespon mikrobia secepat neutrofil, tetapi tidak terdapat dalam waktu yang lama pada daerah inflamasi, sehingga makrofag merupakan sel efektor dominan pada tahap akhir respon imum bawaan (1-2 hari setelah infeksi). Makrofag dapat hidup lebih lama dibandingkan neutrofil. Selain itu makrofag juga dapat membelah diri pada daerah inflamasi. Makrofag juga memproduksi sitokin yang menstimulasi inflamasi dan memacu remodelling jaringan pada daerah infeksi.

Sumber :
Janeway, C.A.,Jr., Travers, P., Walport, M., and Shlomchik, M.J. 2001. Immunobiology. Garland Publishing. New York.