Monday, 4 April 2016

Fagositosis Makrofag



            Fagositosis merupakan proses yang terdiri dari beberapa tahap. Mekanisme utamanya adalah mengeliminasi mikrobia dari dalam tubuh, sehingga berperan penting dalam pertahanan melawan mikrobia ekstraseluler. Tahap fagositosis dimulai dengan pergerakan fagosit menuju mikrobia dengan menggunakan sinyal kemotaktik seperti komplemen. Kemudian fagosit melekat pada mikrobia melalui pengikatan manosa, komplemen dan atau reseptor Fc. Endositosis mikrobia memicu pembentukan fagosom melalui invaginasi membran permukaan. Selanjutnya fagosom berfusi dengan lisosom dengan melibatkan mikrotubulus. Akhirnya mikrobia dieliminasi dengan menggunakan oksigen radikal seperti myeloperoksidase dan oksida nitrat.         
           Sistem fagosit mononuklear terdiri dari sel yang berasal dari sumsum tulang, bersirkulasi di dalam darah, dan matur serta menjadi aktif di berbagai jaringan. Tipe sel yang pertama kali masuk ke dalam aliran darah setelah meninggalkan sumsum tulang adalah monosit yang belum terdiferensiasi. Monosit memiliki diameter 10-15 μm dan mempunyai inti berbentuk seperti ercis dan sitoplasma yang mengandung granula halus berisi lisosom, vakuola fagositik, dan filamen sitoskeleton.
Setelah berada di dalam jaringan, monosit matur menjadi makrofag. Makrofag memiliki morfologi yang berbeda setelah teraktivasi oleh sinyal eksternal seperti mikrobia. Makrofag ditemukan di semua organ dan jaringan ikat dan diberi nama sesuai dengan lokasi spesifiknya.
Dengan demikian, makrofag ditempatkan pada tempat yang strategis dimana mikrobia kemungkinan masuk ke dalam tubuh. Makrofag merespon mikrobia secepat neutrofil, tetapi tidak terdapat dalam waktu yang lama pada daerah inflamasi, sehingga makrofag merupakan sel efektor dominan pada tahap akhir respon imum bawaan (1-2 hari setelah infeksi). Makrofag dapat hidup lebih lama dibandingkan neutrofil. Selain itu makrofag juga dapat membelah diri pada daerah inflamasi. Makrofag juga memproduksi sitokin yang menstimulasi inflamasi dan memacu remodelling jaringan pada daerah infeksi.

Sumber :
Janeway, C.A.,Jr., Travers, P., Walport, M., and Shlomchik, M.J. 2001. Immunobiology. Garland Publishing. New York.
 


Tuesday, 1 March 2016

Potensi miRNA dalam Terapi Biologis



Berikut adalah beberapa contoh potensi miRNA dalam terapi biologis di masa depan :

1)  Terapi autoimun
            Terapi autoimun dapat dilakukan dengan cara memanipulasi ekpresi miRNA yang memiliki potensi dalam menghambat reaksi autoimun tanpa menimbulkan efek samping (Love et al., 2008). Salah satu kasus autoimun dapat disebabkan oleh sel T yang merespon antigen self. Hal ini terjadi akibat pada masa perkembangan, sel T yang tidak lolos seleksi terhadap self-nya (Zehn et al., 2006). Salah satu miRNA yang dapat menekan respon sel T yaitu miR-181a (Li et al., 2007). Memodulasi miRNA-181a dapat mempengaruhi regulasi respon sel T. Dengan mengendalikan ambang batas dari aktivitas sel T melalui miRNA181a  pada  targetnya (mRNA sel-sel T perifer) diharapkan dapat menghambat respon autoimun  dan  juga  tetap menjaga kemampuan respon sel T  terhadap patogen (Zehn et al., 2006).
            Selain miR-181a, miR-155 juga menjadi potensi terapi pada penyakit autoimun yang berhubungan dengan peningkatan atau penurunan respon sel T. Dengan menggunakan miR-155 mimetic diharapkan dapat meningkatkan profil sitokin TH1 dan meningkatkan respon sel T. Atau menggunakan antagomiR terhadap miRNA-155 untuk menekan aktivitas miRNA-155 sehingga meningkatkan profil TH2 dan menurunkan respon sel T (Love et al., 2008).

2) Terapi penyakit infeksius
            Salah satu terapi miRNA pada penyakit infeksius yaitu dengan cara menghambat replikasi virus dengan membuat artificial miRNA (amiRNA) yang sifatnya komplemen terhadap mRNA virus sehingga dapat menghambat sintesis protein yang esensial untuk virus.
            Misalnya pada penghambatan replikasi virus rabies yaitu dengan membuat artificial miRNA yang sifatnya komplemen terhadap mRNA protein N virus rabies. Protein N ini penting untuk melindungi genom RNA virus rabies dari degradasi RNase saat proses replikasi dalam sel. Pada penelitian Israsena et al. (2009), dibuat ssDNA oligo komplementer yang mengkode pre-miRNA dan diklon ke vektor plasmid. Kemudian di dalam plasmid akan ditranskripsi artificial miRNA dengan target mRNA protein N virus rabies. Plasmid kemudian  ditransfeksi ke sel yang di-challenge dengan virus rabies. Hasil penelitian menunjukkan penurunan level mRNA  protein N dan level genom virus rabies pada sel yang ditransfeksi artificial miRNA dibanding kontrol (postitif rabies, tanpa amiRNA). Hal ini menunjukkan manipulasi miRNA (dengan artificial miRNA) berpotensi sebagai terapi terhadap penyakit infeksius akibat virus.

3) Terapi penyakit non infeksius
            Salah satu terapi miRNA pada penyakit non infeksius yang berkembang saat ini yaitu pada terapi penyakit-penyakit neurodegenerasi. Terapi miRNA menggunakan artificial miRNA akan menyebabkan gen silencing pada gen-gen  target yang berperan pada perkembangan kejadian penyakit prinsipnya akan dibuat sekuen gen secara artificial yang akan dimasukkan ke vektor yang cocok untuk membawa sekuen gen, misalnya virus. Vektor virus akan menginfeksi sel target dan melakukan replikasi pada nukleus (misalnya sel syaraf), sekaligus akan mengkode pre-miRNA dan transkripsi miRNA yang akan berikatan pada gen targetnya (mRNA) di sitoplasma, sehingga tidak terjadi translasi protein yang berperan dalam perkembangan kejadian penyakit (Boudreaua dan Davidson, 2010).