Sunday, 9 October 2016

Genetika dalam Farmakologi



Dalam tubuh manusia diperkirakan terdapat 20.000 - 25.000 gen yang mengkode keseluruhan protein di dalam sel, termasuk didalamnya adalah enzim biotransformasi yang terlibat dalam metabolisme obat. Variasi alel dalam gen dapat mengubah sekuen DNA pengkode protein, sehingga dapat mempengaruhi kecepatan transkripsi gen, sintesis protein, dan akitivitas protein yang diekspresikan. Pada sel manusia yang bersifat eukariotik, sepasang alel yang menyusun lokus gen dalam kromosom tertentu dapat berupa sepasang alel yang identik (homozigot) atau berupa sepasang alel yang berbeda (heterozigot). Genotip suatu individu menunjukkan sepasang alel tertentu dari gen spesifik yang ada pada setiap sel suatu individu, sedangkan fenotip merupakan efek yang teramati dari genotip suatu individu dan yang berinteraksi dengan faktor lingkungan (Robinson, 2003).  
Keragaman genetik merupakan kekuatan penting yang mendorong terjadinya evolusi dan merupakan proses yang secara alami memodifikasi fenotip organisme. Sekuen basa DNA yang berubah, mungkin diinduksi oleh faktor lingkungan (seperti UV atau radiasi ion dan bahan kimia tertentu) atau muncul secara spontan karena terjadi kesalahan pada saat replikasi DNA. Terbentuknya variasi dalam sekuen DNA berlangsung secara acak dan efeknya terhadap fenotip yang terbentuk tidak mudah diprediksi. Variasi genetik dapat menghasilkan polimorfisme apabila diturunkan ke generasi berikutnya (gametik / germ line) dengan frekuensi alel 1% pada suatu populasi (Crettol et al., 2010).
Terdapat tiga tipe variasi genetik yang utama yaitu SNP (Single Nucleotide Polymorphism), VNTR (Variable Number of Tandem Repeats), dan insersi/delesi satu/lebih basa nukleotida. SNP merupakan variasi sekuen DNA yang paling banyak dipelajari dalam farmakogenetik. Berdasarkan letaknya dalam gen, SNP dibedakan menjadi SNP intergenik (iSNP), SNP perigenik (pSNP), dan coding SNP (cSNP). SNP intergenik yaitu SNP yang berada diantara dua gen penyandi protein yang berbeda dan berkisar antara 5-15 juta pada genom manusia. SNP yang kedua adalah pSNP yang berada pada region non coding, antara lain region regulatori pada bagian upstream gen dan intron.  SNP ini berkisar antara 200.000-500.000 pada genom manusia. SNP yang ketiga adalah cSNP yang berada pada region coding sequence dan mengakibatkan terjadinya perubahan asam amino. Jumlah cSNP berkisar antara 50.000-100.000 pada genom manusia dan merupakan tipe SNP yang paling banyak dipelajari dalam farmakogenetik, terkait perannya dalam mempengaruhi respon individu terhadap senyawa obat (Ingelman-Sundberg, 2001). 
           Pada sistem pengelompokan yang lain, berdasarkan pengaruhnya terhadap ekpresi gen, SNP dibedakan menjadi dua kategori, yaitu SNP kausatif dan non kausatif. SNP kausatif bertanggung jawab secara langsung terhadap perubahan jumlah dan aktivitas protein hasil ekspresi gen di dalam sel termasuk diantaranya enzim-enzim pemetabolisme obat, sedangkan SNP non kausatif tidak mempengaruhi jumlah dan aktivitas protein secara langsung, namun mempengaruhi keberadaan SNP kausatif  dan diwariskan ke generasi berikutnya. SNP non kausatif berperan sebagai marker genetik yang mengindikasikan adanya SNP kausatif pada gen tertentu. Marker genetik ini sangat berguna dalam pembelajaran farmakogenetik, terutama pada saat SNP kausatif sulit teridentifikasi (Crettol et al., 2010).
                   
            Gambar 1. Analisis single SNP dan multiple SNP pada kromosom dari 3 individu yang berbeda (Crettol et al., 2010)

Gambar 1 menunjukkan adanya 3 genom hipotetik yang mengandung SNP ke-1, namun hanya satu genom ke-1 yang menunjukkan penurunan fungsi. Ekspansi analisis untuk mengetahui SNP lain (SNP ke-2 sampai ke-6) yang mungkin berupa haplotipe memungkinkan terdeteksinya pengaruh terhadap fungsi (Gambar 1B). Melalui analisis genom secara lanjut diketahui bahwa hanya genom ke-1 yang memiliki fungsi berbeda karena terkait dengan adanya SNP ke-6 yang bersifat kausatif. Kemungkinan untuk mengidentifikasi adanya SNP tunggal pada haplotipe hanya sebesar 50%. Setara dengan kenaikan jumlah SNP, keseluruhan probabilitas untuk mengidentifikasi adanya haplotipe akan meningkat pula, dinyatakan dengan formula : 1 - 0.5n, dimana n adalah jumlah SNP. Sehingga apabila terdapat 5 SNP pada haplotipe tertentu, maka probabilitas perbedaan haplotipe dalam suatu populasi sebesar : 1-0.5n = 96.9 % (Crettol et al., 2010).
 


Monday, 19 September 2016

Mekanisme Mycobacterium tuberculosis dalam menghambat kerja Makrofag



Lipoprotein 19 kDA merupakan salah satu agonist TLR yang sinyalnya melalui TLR2 dan MyD88 untuk menstimulasi respon proinflamatori. Data penelitian Fortune et al.(2004) dan Allenbach et al. (2006) menunjukkan lipoprotein 19 kDA menghambat transkripsi CIITA yang diinduksi IFN-γ melalui TLR2 dan MyD88. Data yang didapatkan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa aktivasi TLR2 memungkinkan penghambatan sinyal IFN-γ terhadap makrofag, namun hal ini bukan satu-satunya mekanisme yang dilakukan oleh M. tuberculosis untuk menghambat makrofag.  mAGP Mycobacterium merupakan agonist TLR2 yang menghambat respon makrofag terhadap  IFN-γ melalui TLR2-/-  , C3H/HeJ, dan MyD88-/- . Hal ini menunjukkan bahwa mAGP juga merupakan jalur signal alternatif.
Data penelitian Allenbach et al. (2006)  menunjukkan adanya mAGP yang menstimulasi produksi TNF-a tanpa dipengaruhi oleh MyD88. Peneliti berhipotesis bahwa mAGP mengaktivasi reseptor immun bawaan yang lain dan terlibat pula dalam cascade penghambatan signal IFN-γ terhadap makrofag.  Penelitian ini mengindikasikan mAGP mungkin memediasi aktivasi makrofag yang bersifat MyD88-independent dan berdampak pada fungsi yang signifikan. Reseptor immun bawaan yang terikat oleh mAGP selain TLR2 mampu mengenali peptidoglikan bactericidal, antara lain protein pengenalan peptidoglikan, TREM, dan NOD.
Komponen dinding sel Mycobacterium dalam kultur yaitu lipoprotein 19 kDA dan peptidoglikan telah teridentifikasi dalam fagolisosom makrofag. Walaupun mekanisme Mycobakterium dalam mengikat reseptor imun bawaan sekaligus menghambat sinyal IFN-γ terhadap makrofag belum dapat dipaparkan dengan jelas, namun adanya TLR2 dalam fagosom setelah patogen diambil menunjukkan keberadaan TLR2 dipicu oleh komponen Mycobakterium. Selain itu hal ini mungkin juga disebabkan oleh vakuola Mycobacterium yang permeabel terhadap beberapa makromolekul. Reseptor immun bawaan sitoplasmik seperti NOD juga terdapat dalam fagosom Mycobacterium.
Aktivasi respon immun bawaan yang berasosiasi dengan penghambatan sinyal IFN-γ penghambatan aktivasi maupun fungsi STAT1 belum dapat dipaparkan dengan jelas. Pada penelitian Fortune et al. (2004), TLR2 berada ‘sendiri’ atau berkonjungsi dengan TLR4 teraktivasi yang menstimulasi makrofag untuk menghasilkan IL-6. Produksi IL-6 berkontribusi terhadap penghambatan signal IFN-γ. Namun dalam penelitian ini, mAGP maupun lipoprotein 19 kDA tidak menginduksi produksi IL-6. Hal ini mengindikasikan mekanisme penhambatan ini bersifat IL-6-independent.
IFN-γ dibutuhkan oleh makrofag untuk membunuh M. tuberculosis dan berperan penting dalam kerja makrofag. Dalam penelitian Fortune et al. (2004), M. tuberculosis menghambat signal IFN-γ pada manusia dan makrofag mencit melalui beberapa jalur pada level transkripsi dan ekspresi protein. Penghambatan sinyal IFN-γ berkorelasi kuat dengan fagositosis makrofag mencit terhadap M. tuberculosis. mAGP maupun lipoprotein 19 kDA tidak signifikan mempengaruhi produksi NO (Nitrogen monooksida) pada makrofag. NO merupakan mediator penting dalam pembasmian Mycobacterium secara in vivo maupun in vitro, namun beberapa penelitian menunjukkan NO bukan satu-satunya mediator IFN-γ untuk mengaktivasi makrofag. Pada beberapa penelitian, mencit yang kekurangan IFN-γ lebih rentan terhadap infeksi M. tuberculosis dibandingkan mencit yang kekurangan NOS (NO sintase). Data yang didapatkan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa mAGP dan lipoprotein19 kDA menghambat mekanisme signal IFN-γ terhadap makrofag yang bersifat produksi NO-independent.
Beberapa komponen M. tuberculosis menurunkan modulasi signal IFN-γ pada makrofag. mAGP kompleks dan lipoprotein 19 kDA memiliki pengaruh fungsi yang sama namun memiliki mekanisme penghambatan pada jalur yang berbeda. Penghambatan sinyal IFN-γ melalui mekanisme ganda (redundant) memungkinkan M. tuberculosis bertahan dalam makrofag dengan cara menurunkan modulasi makrofag. Penghambatan makrofag membunuh M. tuberculosis berlangsung seiring dengan penghambatan sinyal IFN-γ dengan cara menurunkan modulasi ekspresi MHC kelas II dalam mempresentasikan antigen Mycobacterium, sehingga memungkinkan Mycobacterium lolos dari eradikasi sistem immun inang.