Tuesday 17 December 2013

SISTEM IMUN MUKOSA


Sistem imun mukosa merupakan 80% dari semua imunosit tubuh pada orang sehat. Imunitas mukosa merupakan sistem imun innate yang melibatkan netrofil fagositik dan makrofag, sel dendritik, sel NK (natural killer), dan sel mast.  Sel-sel ini terakumulasi di dalam maupun di antara berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid Ttisssue (MALT), yang bergabung membentuk sistem organ limfoid terbesar pada Mammalia. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi patogen dan inisisasi respon imun adaptif.

Organ-organ yang terlibat dalam Sistem Imun Mukosa

Organ pertama yang terlibat dalam sistem imun adalah Intestinum. Respon imun pada organ intestinum diawali oleh sel M (microfold cells) yang berlokasi di epitel yang melapisi folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan antigen-presenting cel (APC) yang dibutuhkan dalam pembentukan respon imun. Sel M bertugas untuk mengambil dan membawa antigen yang berada dalam lumen. Antigen yang berada di dalam lumen organ, akan berinteraksi dengan sel epithelial abortif dan sel epitelial spesifik pada mukosa induktif. Selanjutnya antigen dibawa atau langsung ditangkap oleh APC. APC terdiri dari : sel dendritik (DC), sel limfosit B dan makrofag. Antigen akan dipresentasikan kepada sel T sitolitik  (CD4+) dan T helper (CD8+). Beberapa antigen dapat langsung diproses dan dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T intraepitelial tetangga (neighboring intraepithelial T cells) meliputi sel T dengan limited resevoire diversity (sel T γδ dan sel NK). Respon imun mukosa dipengaruhi oleh karakteristik antigen, tipe APC yang terlibat dan lingkungan mikro lokal. Untuk antigen yang bersifat non patogen (protein makanan), jalur normal untuk sel dendritik mukosa dan APC lain  melibatkan sel T helper II dan respon berbagai sel T regulator. Mekanisme ini menghasilkan supresi aktif dalam imunitas sistemik.
Organ kedua yang terlibat dalam sistem imun mukosa adalah paru-paru. Sel-sel imun terasosiasi dalam Nose Associated Lymphoid Tissue (NALT), Larynx Associated Lymphoid Tissue (LALT), dan Bronchus Associated Lymphoid Tissue (BALT). Sel APC dalam paru-paru terdiri dari sel dendritik submukosa dan interstitial, serta makrofag alveolus. Makrofag alveolus merupakan 85% sel dalam alveoli, sedangkan sel dendritik hanya 1%. Makrofag alveolus ini merupakan APC yang lebih lemah dibandingkan sel dendritik.  Makrofag alveolus paling banyak terdapat pada alveolus,  terkait dengan peran pentingnya untuk melindungi saluran nafas dari proses inflamasi pada keadaan normal. Pada saat antigen masuk, makrofag alveolus akan mempengaruhi tingkat aktivitas atau maturasi sel dendritik dengan melepaskan sitokin. Sel dendritik akan menangkap antigen, kemudian memindahkannya ke organ limfoid lokal. Setelah melalui proses maturasi, sel dendritik akan memilih limfosit yang spesifik terhadap antigen tersebut dan menginduksi proses imun selanjutnya.
Organ ketiga yang terkait dengan sistem imun mukosa adalah urogenital. Salah satu contoh antigen yang menginfeksi organ urogenital wanita adalah virus herpes simplek (HSV). HSV akan menginduksi mukosa vagina untuk memberikan efek protektif respons imun innate berupa :
(i) sekresi protein, komplemen dan defensin
(ii) respon awal terhadap virus oleh sel epitel dan sel dendritik khas ditandai dengan  produksi interferon, yang selanjutnya mengawali respons imun adaptif
(iii) rekruitmen sel efektor seperti neutrofil, makrofag dan sel NK.

 Peran Sel Dendritik dalam Sistem Imun Mukosa

Sistem imun mukosa melibatkan peran penting sel dendritik. Sel dendritik berada pada jaringan spesifik tubuh, yaitu di hati, plak payeri, mukosa intestinal dan paru-paru. Sel dendritik berperan penting dalam mengontrol aktivasi, pertahanan, dan ekspansi sel regulator dalam sistem imun mukosa. Sel B maupun sel T yang tersensitisasi antigen, akan bergerak melalui kelenjar limfe, masuk ke sirkulasi darah, dan kemudian menempatkan diri pada mukosa terseleksi, yakni pada mukosa yang menjadi tempat untuk berdiferensiasinya sel – sel tersebut menjadi sel plasma dan sel memori, membentuk Imunoglobulin A (IgA) sekretori. Afinitas sel-sel ini dipengaruhi oleh protein integrin pada tempat spesifik (homing reseptors) permukaannya dan reseptor jaringan spesifik komplementer (adressin) pada sel endotel kapiler. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel dendritik mukosa dapat mempengaruhi ekspresi reseptor homing. Sel dendritik dari plak payeri dan limfonodi mesentrik, (kecuali sel dendritik dari limfa dan perifer) akan meningkatkan ekspresi reseptor homing mukosa α4β7 dan reseptor CCR9, yaitu suatu reseptor untuk aktifasi gut-assosiated chemokine sel T memori dan sel T CD8+ memori pada sel epitel intestinal. terdapat sel dendritik imprinting of gut homing specifity terdiri dari retinoid acid yang diproduksi oleh sel dendritik intestinal tetapi tidak oleh sel dendritik limfoid lain. Hal ini menunjukkan karakteristik sistem imun mukosa yang mampu mengaktifasi sel imun lain pada daerah yang letaknya jauh dari sel imun terinisiasi, melalui imunitas sistemik.

Wednesday 6 November 2013

Sekilas Hormon Melatonin


I.                   Penemuan Hormon Melatonin
Hormon melatonin pertama kali didapatkan dari ekstrak glandula pineal sapi oleh McLord dan Allen pada tahun 1917.  Ekstrak dari substansi ini dapat mencerahkan warna kulit pada katak. Selanjutnya pada tahun 1958, Aaron B. Lerner mengkaji struktur kimianya dan memberi nama hormon melatonin. Penelitian ini terus berkembang, hingga pada tahun 1970-an, Lynch et al mempublikasikan adanya pengaruh hormon melatonin dalam membentuk ritme Circadian pada manusia.

II.                Sruktur kimia dan biosintesis hormone melatonin
Hormon melatonin diproduksi oleh pinealosit dalam kelenjar pineal, yang terletak pada pusat otak, tetapi berada diluar blood-brain barrier. Hormon melatonin juga terdapat pada retina mata, lensa mata, kulit, traktus . Gastrointestinalis serta berbagai sel periferal seperti pada sel sumsum tulang, limfosit, dan sel epithel. Pada sel periferal, konsentrasi hormon melatonin lebih tinggi dibandingkan dalam darah, namun aktivitasnya tidak diatur oleh mekanisme fotoperiodik.  Hormon melatonin yang disekresikan dari glandula pineal bersifat sebagai endokrinal, sedangkan dari organ lain bersifat parakrinal. Organ pada manusia yang memproduksi hormon melatonin dalam jumlah terbesar adalah kulit. Dalam sel kulit, hormon melatonin ditemukan bersama produk sampingnya.
Molekul hormon melatonin berupa N-acetyl 5-methoxtryptamine, dan produk sampingnya berupa N(1)-acetyl-N(2)-formyl-5 methoxykynuramine (AFMK). Kedua molekul secara alami disintesis dari asam amino triptofan, melalui sintesis serotonin. Selanjutnya serotonin diubah menjadi melatonin oleh enzim N-asetiltransferase dan 5-hydroxyindole-O-metil transferase.
 Produksi melatonin oleh glandula pineal dipengaruhi oleh Suprachiasmatic Nuklei (SCN) dari kelenjar Hipothalamus yang menerima informasi dari retina, terkait dengan pola gelap dan terang pada siklus harian. Ritme SCN dan produksi melatonin dipengaruhi oleh sinyal cahaya (gelap/terang). Sinyal cahaya mencapai SCN melalui sel ganglion fotosensitif retinal berupa non image forming yang berkeliling melalui traktus retinohipothalamus (RHT) dan berperan sebagai fotoreseptor. Sel ganglion ini berbeda dengan  sel fotosensitif  yang pada umumnya berupa image forming, yaitu sel batang dan sel konus pada retina. Sel ganglion non image forming menyusun 2 % dari total sel ganglion fotosensitif retinal pada manusia dan mengekspresikan fotopigmen melanopsin. Sensitivitas melanopsin sinergi dengan vitamin A dalam hal fotopigmen dengan puncak sensitivitas pada panjang gelombang 484 nm (warna biru terang). Aktivitas fotoperiodik ini menghasilkan produk berupa ambang gelap dan terang yang spesifik untuk menginduksi signal neural dan endokrinal yang mengatur perilaku dan fisiologi ritme circadian. Melatonin disekresikan dalam kondisi kekurangan cahaya, sehingga tingkat sirkulasi hormon melatonin beragam dalam setiap siklus harian
Melatonin juga disintesis oleh beberapa jenis tanaman, antara lain padi. Berdasarkan hasil penelitian, melatonin dari tumbuhan alami yang dicerna menunjukkan kemampuan untuk menemukan dan bergabung dengan hormone melatonin dalam otak mamalia pada binding site.

III.             Fungsi hormon melatonin
Hormon melatonin berperan penting dalan pengaturan ritme Circadian, sistem immune, dan sebagai antioksidan.

A.     Ritme Circadian
Signal hormon melatonin membentuk sistem yang mengatur siklus bangun dan tidur. Secara kimiawi, hormon melatonin menyebabkan rasa kantuk dan menurunkan suhu tubuh. Mekanisme ini bekerjasama dengan komponen parakrin dari sistem saraf pusat, khususnya SCN, dalam mengatur siklus harian. Produksi melatonin oleh glandula pineal dihambat oleh cahaya dan diinduksi oleh gelap (tanpa cahaya), sehingga hormon melatonin sering disebut sebagai darkness hormone. Hormon ini aktif di sore hari, dan disebut sebagai Dim Light Melatonin Onset (DLMO). Sekresi melatonin dan konsentrasinya didalam darah paling tinggi pada tengah malam, kemudian menurun secara gradual pada setiap jamnya. Variasi konsentrasi melatonin berbeda pada setiap individu, berdasarkan Chronotype-nya. Perlakuan over eluminasi dapat mengurangi  konsentrasi melatonin secara signifikan. Cahaya biru bersifat supresif terhadap melatonin. Perlakuan dengan menggunakan google penghalang warna biru dapat mencegah penurunan hormon melatonin dan memberikan efek lebih cepat tidur dalam waktu yang lebih lama.

B.     Sistem immun
Efek immunologis yang positif ditunjukkan oleh adanya afinitas reseptor melatonin yang tinggi, yaitu MT1 dan MT2 yang diekspresikan dalam sel immunokompeten. Melatonin mempunyai kemampuan untuk meningkatkan produksi sitokin sebagai pertahanan dari immunodefisiensi. Melatonin juga berperan dalam melawan penyakit akibat infeksi, baik yang disebabkan oleh virus maupun bakteri. Melatonin endogenous dan limfosit manusia saling berinteraksi dalam  produksi Interleukin-2 (IL-2) dan ekspresi reseptor IL-2.. Hal ini menunjukkan hormon melatonin terlibat dalam mekanisme limfosit T untuk melawan antigen. Pada saat bergabung dengan kalsium, melatonin berperan sebagai immunostimulator.

C.     Antioksidan
Hormon melatonin merupakan molekul antioksidan yang kuat. Penelitian tentang ini berkembang sejak tahun 1993. Melatonin sebagai antioksidan memungkinkan pergerakan melalui membrane sel dan blood brain barrier. Melatonin sebagai ‘pembersih’ ion OH-, O2- dan NO mempunyai mekanisme yang berbeda dengan antioksidan yang lain. Melatonin tidak mengalami siklus redoks, yaitu kemampuan suatu molekul untuk mengalami oksidasi dan reduksi secara berulang-ulang. Melatonin setelah mengoksidasi, tidak dapat direduksi kembali ke bentuk awal, sebab melatonin yang bereaksi dengan radikal bebas membentuk metabolit yang stabil, sehingga disebut sebagai antioksidan terminal. Metabolit pertama yang dihasilkan dalam Melatonin Antioxidant  Pathtway  (MAP) adalah AFMK dan mengekskresikan 6-hidroxymelatonin sulfat. Molekul AFMK mampu menetralisasi 10 ROS/RNS (Rective Oxygen Species/Reactive Nitrogen Species) yang dapat menyebabakan luka pada otak. Pembentukan metabolit dalam proses MAP akan terus berlangsung hingga didapatkan metabolit kuartener dan prosenya secara keseluruhan disebut sebagai Free Radical Scavenging Cascade. Melatonin mampu melindungai kerusakan DNA nuklear dan DNA mitokondrial dari beberapa karsinogen.dengan cara menghentikan mekanisme yang dapat menyebabkan kanker, yaitu menghalangi sekresi hormon yang dapat memacu pertumbuhan sel kanker.




Daftar Pustaka

Arendt J. Melatonin, circadian rhythms and sleep. New Engl J Med; 2000;343(15):1114-1116.

Boutin J, Audinot V, Ferry G, Delagrange P (2005). "Molecular tools to study melatonin pathways and actions". Trends Pharmacol Sci 26 (8): 412–9


Jamie M. Zeitzer, et al., Journal of Physiology. Sensitivity of the human circadian pacemaker to nocturnal light: Melatonin phase resetting and suppression (2000), 526.3, pp. 695.

Savvidou, O. Official journal of Hellenic Association of Orthopaedic Surgery and Traumatology .  Melatonin The hormone of pineal gland and its relation to circadian rhythms and idiopathic scoliosis.(2006) , Vol : 57.

Tuesday 22 October 2013

Gen Pemetabolisme Obat : CYP2C

      Gen pada kromosom yang berada di dalam sel autosom manusia yang bersifat diploid, terdiri dari pasangan alternatif sequen nukleotida yang disebut sebagai alel. Alel satu dibedakan dari alel yang lain berdasarkan perbedaan sekuen nukleotida, sehingga membentuk variasi genetik. Adanya variasi genetik pada setiap individu dapat mempengaruhi struktur dan fungsi protein yang diekspresikan. Adanya ekspresi protein fungsional yang dipengaruhi oleh variasi genetik menjadi kajian dalam farmakogenetik, khususnya ekspresi gen-gen yang terlibat dalam metabolisme obat (Robinson, 2003; Limdi and Veenstra, 2009).
Faktor genetik berpengaruh sebesar 20-95% terhadap variabilitas disposisi obat pada individu, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh usia, fungsi organ, kesesuaian terapi, interaksi antar obat, dan karakteristik penyakit. Pada saat obat dikonsumsi, diserap dan didistribusikan pada sisi aksinya, obat akan berinteraksi dengan target (reseptor dan enzim), kemudian diekskresikan. Penelitian di bidang farmakogenetik terkait peran enzim yang berperan pada metabolisme suatu obat, termasuk transpor membran yang mempengaruhi absorbsi, distribusi, dan ekskresi obat berperan penting dalam membantu memprediksi keberhasilan terapi suatu penyakit (Ingelman-Sundberg, 2004).
Variasi gen antar individu dalam respon terhadap obat telah banyak dipelajari, namun kapasitas untuk memprediksi keamanan dan efikasi dosis standar obat masih relatif rendah. Pada umumnya pengobatan standar yang diberikan hanya memberikan efek terapeutik sebesar 50% dari total populasi pasien, sedangkan 50% pasien yang lain mengalami underdosis yang menyebabkan pasien tidak mendapatkan efek terapeutik dari suatu obat secara optimal atau overdosis yang menyebabkan pasien menderita keracunan obat. Hal ini sangat berisiko terutama untuk terapi yang menggunakan obat-obat dengan indeks terapi yang sempit, antara lain obat anti kanker, anti koagulan, dan obat-obat psikoaktif tertentu (Crettol et al., 2010).
Sitokrom P450 atau CYP450 merupakan enzim yang terlibat dalam jalur metabolisme utama untuk senyawa obat dan substansi yang lain. Pengetahuan mengenai substrat, inhibitor, dan inducer enzim CYP450 dan bagaimana satu obat mempengaruhi kinerja obat lain melalui sistem ini dapat membantu prediksi terjadinya efek samping obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Interaction/ADI) yang serius (Ishizaki, 2002). Adanya variasi genetik menyebabkan perbedaan ekspresi enzim CYP450 pada setiap individu, sehingga enzim diekspresikan dalam jumlah yang lebih tinggi atau lebih rendah. Interaksi obat dapat terjadi pada saat dua obat atau lebih yang diregulasi oleh enzim yang sama terjadi secara bersamaan, sehingga terjadi penurunan atau peningkatan aktivitas enzim CYP450 tertentu yang menjadikan metabolisme obat menjadi lebih lambat (poor metabolizer/PM) atau lebih cepat (ultra rapid metabolizer/UM) dibandingkan metabolisme normal (excessive metabolizer/EM). Hal ini berpengaruh terhadap efikasi dan toksisitas obat pada tiap individu (Fieldhouse, 2000; Johnson and Evans, 2002 ).
Enzim CYP450 yang mempengaruhi kecenderungan individu memiliki fenotip pemetabolisme cepat maupun pemetabolisme lambat antara lain termasuk dalam subfamili CYP2C, yaitu CYP2C9 dan CYP2C19. Kedua enzim ini diekspresikan dalam hepar. Enzim CYP2C9 terlibat dalam metabolisme 10 % obat, sedangkan enzim CYP2C19 terlibat dalam metabolisme 20% obat. Prevalensi polimorfisme gen yang mengkode kedua enzim ini pada populasi negara-negara di Asia lebih tinggi dibandingkan gen yang mengkode enzim CYP450 yang lain.
Frekuensi varian kedua gen ini bervariasi pada tingkat populasi ras dan suku yang berbeda. Sebagai contoh, frekuensi varian gen CYP2C9 pada ras kaukasia (Eropa) sekitar 20 %, pada ras negroid (Afrika-Amerika) sekitar 6% (Scordo et al., 2001), dan pada populasi ras oriental (Asia) sebesar 3 % (Yoon et al., 2000 ; Yang et al., 2010), sedangkan frekuensi varian gen CYP2C19 pada ras kaukasia sekitar 6% dan 1% pada ras negroid (Afrika-Amerika). Frekuensi yang lebih tinggi terdapat pada ras Asia dibandingkan kaukasia, yaitu sebesar 19% untuk Jepang, 15 % untuk China, dan 13 % untuk Korea (Sohn, 2002).


Monday 2 September 2013

Xenorhabdus dan Photorhabdus




Bakteri Simbion NPS : Xenorhabdus and Photorhabdus

Bakteri simbion NPS yang telah berhasil diidentifikasi adalah Xenorhabdus spp dan Photorhabdus spp. Kedua genus bakteri tersebut merupakan kelompok bakteri motil dan bersifat gram negatif yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Berdasarkan eksoenzim yang dimiliki, bakteri simbion NPS termasuk dalam kelompok γ-proteobacteria (Chaston et al., 2011). Semua isolat bakteri simbion NPS membentuk dua fase pertumbuhan yang memiliki karakteristik biologis berbeda. Pada saat berada dalam tubuh NPS, bakteri simbion mengalami fase pertumbuhan primer. Pada kultur in vitro, pertumbuhan fase primer relatif tidak stabil. Selanjutnya pada saat bakteri simbion dilepaskan ke dalam hemolimfe serangga, bakteri simbion mengalami pertumbuhan sekunder yang lebih stabil dibandingkan pertumbuhan primer. Variasi fase pertumbuhan ini menjadikan karakterisasi taksonomi bakteri simbion secara konvensional tidak mudah dilakukan (Akhurst and Boemare, 1988).     
Bakteri Xenorhabdus dan Photorhabdus memiliki cara hidup yang sama, namun berdasarkan analisis sekuen gen 16S rRNA, kedua genus bakteri tersebut memiliki susunan genetik yang berbeda. Selain itu secara spesifik kedua bakteri simbion memiliki mekanisme molekuler yang berbeda terkait dengan interaksinya terhadap serangga inang. Beberapa mekanisme yang bersifat spesifik antara lain dalam hal pertahanan terhadap respon immun serangga, yaitu senyawa antimicrobial peptide (AMP) yang disekresikan oleh serangga inang. Photorhabdus akan menetralkan AMP dengan cara mensekresikan lipopolisakarida (LPS) yang termodifikasi, sedangkan Xenorhabdus pada saat masuk ke tubuh serangga inang secara langsung melakukan supresi terhadap ekspresi gen AMP, sehingga serangga inang tidak mampu menghasilkan AMP.  Xenorhabdus di dalam tubuh NPS berada pada reseptakulum yang merupakan modifikasi bagian dalam intestinum Steinernematidae, sedangkan Photorhabdus di dalam tubuh Heterorhabditidae berada di bagian anterior intestinum. Selain itu, transmisi Photorhabdus ke dalam tubuh juvenil infektif Heterorhabditidae memerlukan kolonisasi bakteri yang disebut endotokia matricida yaitu proses kelahiran individu baru melalui intrauterine yang menyebabkan kematian induknya, sedangkan pada Xenorhabdus tidak terdapat mekanisme ini ( Chaston et al., 2011)

Friday 2 August 2013

Penipisan Lapisan Ozon



1      Faktor utama  penyebab penipisan ozon adalah terjadinya proses destruksi yang dikatalisis oleh atom halogen pada lapisan stratosfer, melalui reaksi fotodisosiasi senyawa holokarbon refrigeran antara lain CFC, Freon, dan Halon yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Terdiri dari 5 tahap reaksi, yaitu  :

1. CFCl+ UV --> CFCl2 + Cl
2. Cl + O3 --> ClO + O2
3. O2 + UV --> 2O
4. ClO + 2O --> O2 + Cl
5. Kembali ke tahap 2
  
Dampak penipisan ozon terhadap manusia dan lingkungan :
a.       Meningkatnya suhu bumi (pemanasan global) akibat peningkatan  radiasi sinar UV (UVA maupun UVB)
b.      Menurunnya kualitas kesehatan global sehingga meningkatkan risiko terhadap penyakit kulit (kanker), katarak, dan respirasi akibat paparan UVB
c.       Kerusakan vegetasi
d.      Penurunan populasi plankton sebagai akibat dari terjadinya kenaikan suhu air laut pada zona photic
e.      Kerusakan bioma artik dan antartika yang menyebabkan terjadinya pencairan es dan ketidakseimbangan siklus air

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi penipisan ozon antara lain alternatif bahan bakar fosil (bioethanol, biohidrogen, biodiesel),  aplikasi Presipitator Elektrostatik (regulasi control polutan udara dari industri) untuk mengurangi pemanasan global akibat efek gas rumah kaca, reboisasi untuk peremajaan vegetasi, dan menggunakan alat elektronik non CFC (HCFC).